Minggu, 18 September 2011

Nusantara Berkisah

Bertempat di lantai sepuluh Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Bali, Minggu, 28 Juni 2009, pantun-pantun Nandong bergema, mengenang kembali peristiwa Smong yang menerjang Aceh.

Pantun-pantun berbentuk seloka (pantun berkait) yang dilantunkan Yoppi Andri melengking menyayat kalbu. Musik Kumendang (terdiri dari gendang dan biola) yang mengiringi Nandong tak kalah pilu dan galau, mengaduk-aduk kenangan kelam. Air laut di pantai Sanur seakan ikut bersedih mendengar kisah-kisah Nandong malam itu.

Nandong merupakan seni tradisi bertutur berasal dari Pulau Simeulue, Aceh. Nandong telah lama diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur Simeulue. Nandong banyak mengandung kearifan lokal yang telah menjadi pedoman hidup masyarakat setempat sampai saat ini.

Pertunjukan Nandong kali ini merupakan bagian dari Road Show Falara, dari Desember 2008 hingga Desember 2009. Dimulai dari Yogya, Jakarta, Bali, Bandung, dan berakhir di Aceh. Pertunjukan ini dibarengi launcing buku “Nandong” dan album “From Simeulue With Smong”. Pertunjukan ini juga memiliki misi memperkenalkan kata “Smong” yang merupakan kata asli Nusantara (berasal dari Simeulue), untuk mengganti kata “Tsunami” (berasal dari Jepang) yang terlanjur dipakai untuk menyebut bencana gelombang pasang. n WS
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Peace Teater Tanah Air

Teater Tanah Air akan mementaskan drama berjudul Peace karya Putu Wijaya di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat, Sabtu dan Minggu, 18 & 19 Juli 2009.

Drama Peace ini disutradarai oleh Jose Rizal Manua. Menurut Jose, drama Peace ini pernah dipentaskan di Moscow, Rusia dan diundang khusus oleh markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 20 November 2008. Drama Peace ini kemudian menyabet penghargaan The Best Performance pada 10 th “World Festival of Children’s Theatre.

Drama Peace menceritakan tentang anakanak Raksasa Gimbal yang sedang bermain di hutan. Mereka sangat menyayangi hewan dan tumbuhan di sana. Kehidupan hutan sangat tenang dan damai. Di hutan itu hidup dinosaurus Tirex yang sedang bertelur. Telur dinosaurus ditinggalkan ibunya menjadi incaran pemburu jahat. Anakanak raksasa gimbal merasa iba dengan si telur. Setiap hari mereka menjaga telur sambil bermain di hutan. Tiba-tiba seorang pemburu jahat datang.

Si Pemburu hendak mencuri telur untuk dijual dengan harga yang sangat mahal. Dengan menjual telur itu ia akan menjad kaya raya. Pencurian sempat digagalkan oleh anak lima benua. Anak lima benua merupakan segolongan anak pecinta lingkungan dengan semboyan yang lemah ditolong, yang bekerja keras disokong.

Namun, si pemburu dapat mengelabuhi anak lima benua. Terpaksa telur jatuh di tangan pemburu. Anak raksasa gimbal datang menyelamatkan telur. Akhirnya telur dapat diselamatkan dan menetas jadi anak dinosaurus Tirex. n RP
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Patung-Patung Pembebas

Perupa asal Yogyakarta berpameran di sebuah galeri di kota Bandung. Menurut perupa Aminudin TH Siregar, pameran tersebut digelar sebagai wujud silaturahmi. Kali ini kurator Suwarno Wisetrotomo mengantarkan pameran tunggal pematung Purjito, lulusan Institut Seni Indonesai (ISI) Yogyakarta. Patung-patung Purjito yang dipamerkan pada 3-17 Juni cukup beragam. Tapi, kata Suwarno, kecenderungan bentuk-bentuknya segera mudah dikenali: figuratif, non-representasional, dan kecenderungan realistik.

Patung Berdoa dari kayu sono keling (1989-1990) menghadirkan tubuh pipih yang bermodel relief. Ia mencitrakan dua tangan dengan menatap pada bidang datar dan bentuk wajah seperti totem. Wajah dan kedua tangan dicat berwarna keemasan. Kaki didesain dengan membelah kayu sehingga tampak dua kaki dalam formasi depan-belakang dan kiri-kanan. Meski sederhana, patung ini menunjukkan kematangan Purjito dalam menuangkan gagasannya.

Meski sudah menggelar pameran mulai 1984, sampai kini ia baru menyelenggarkan tiga kali pameran tunggal. Selebihnya pameran bersama di Yogyakarta, Jakarta, dan Jawa Tengah. Tapi, karya-karya patung, relief, dan diorama sudah menghiasai berbagai sudut kota di Indonesia sejak 1984. Pada 1985-1990, ia terlibat dengan proyek-proyek monumen pimpinan pematung senior Edi Soenarso. Karyanya di antaranya Patung ABRI Manunggal, Kodam Siliwangi Bandung, relief dan patung Khairil Anwar di Bekasi, Relief Sejarah Polisi Militer di Jakarta, dan sejumlah karya lainnya telah menenggelamkannya menjadi pematung tangguh. n HM
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Manusia dan Lingkungan

Pohon-pohon tidak berdaun di tepi danau. Warna hijau rumput di sekelilingnya, tapi kering di ujung daun. Air bergelombang di danau, tapi tak mampu membuat pohon-pohon bersemi.

Itulah ide dari lukisan Lake Solitude beru-kuran 140 x 140 cm karya Andi Mdj. Karya ini adalah salah satu dari sejumlah lukisan yang dipamerkan oleh seniman lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Indonesia (STISI) Bandung di Galeri Esp Art CCF Bandung awal Juni lalu.

Andi tidak sekadar menggambarkan alam indah yang sering diagungkan oleh mazhab romantik, tapi menyusun gambar demi gambar dengan pesan tertentu. Lewat pameran tunggal bertajuk Manusia-Lingkungan, ia menyuarakan perspektifnya terhadap alam yang semakin terancam oleh nafsu komodifikasi manusia.

Menurut kurator pameran Eddy Hermanto, lukisan-lukisan Andi menyodorkan tanda dan makna dalam gamitan konfigurasi yang memiliki kebebasan. Beberapa makna dan tanda yang digubah dalam bidang gambar membawa makna yang berkorelasi maupun terpisah sama sekali.

Contoh karya yang semakna dengan karyakarya di atas adalah Filosofi Pohon. Sebuah pohon besar berdiri gagah di tengah-tengah pohon-pohon kecil. Dari kejauhan gambar ini tampak seperti tiga dimensi. Tapi, semua ranting pohon itu tak satupun berdaun. Andi menunjukkan bahwa pohon-pohon ini hanya menunggu waktu untuk ditebang dan dimasukkan truk untuk berubah nasib dari benda hidup menuju benda mati. n Hm
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Foto dari Sumba

Dua fotografer dari dua negara berbeda sama-sama memotret Sumba. Mereka adalah I Wayan Gede Ari Antoni dari Bali (Indonesia) dan André Graff dari Perancis. Pada mulanya mereka hadir di Sumba dengan tujuan berbeda. Antoni yang merupakan mahasiswa Antropologi tingkat akhir menetap di Sumba Timur selama tiga bulan untuk suatu penelitian kebudayaan. Sedangkan Graff bermukim di Sumba Barat, tepatnya di Suku Lamboya untuk membantu masyarakat setempat dalam pengadaan air bersih.

Graff adalah seorang mantan pilot balon udara. Namun dia juga adalah peternak lebah, petani, militan, ahli lingkungan hidup. Sejak tahun 2004 telah aktif dalam pengadaan air bersih di Waru Wora, Napu Bawa dan Napu Atas. Sejak di Sumba, Graff telah banyak berhadapan dengan tahayul-tahayul keagamaan, perang antar suku, dan ketidakpedulian pemerintah Indonesia terhadap kekurangan gizi dan penyakit endemis di Sumba. Graff telah menyediakan 12 sumur air bersih bagi Sumba dan Sawu dalam waktu 3 tahun. Sumur yang ke-13 baru saja diselesaikannya tanggal 8 Juni lalu.

Foto-foto yang ditampilkan Graff dipilih dari kumpulan 25.000 foto yang merupakan “bahan penyadaran kolektif” bagi siapa saja yang masih memiliki rasa kepedulian untuk kemanusiaan.

Tidak jauh berbeda dengan Graff, Antoni juga menampilkan foto-foto yang dipilih dari ribuan foto yang sarat dengan realitas kehidupan di Sumba. Foto-foto mereka mewartakan kehidupan dan kematian, berkaitan dengan realitas di Sumba, masalah sanitasi pulau yang selalu dramatis, serangan malaria, kemiskinan, minimnya sarana dan prasarana. n WS
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Alam dan Kehidupan Maman PS

Pameran tunggal keempat Maman PS, ‘Alam dan Kehidupan II’, sekaligus meneguhkan jatidirinya di dunia seni lukis. Pelukis kelahiran Klaten, Jawa Tengah, 2 Juni 1952, ini mengawali kesenimannya sebagai pelukis potret hitam-putih dengan menggunakan arang dan pensil pada tahun 1973. Selama 15 tahun, Maman melakoni profesi sebagai pelukis poster bioskop dan hidup berpindah-pindah dari Jakarta, Semarang dan Surabaya. Pada 1988 dia merasa mencari pengalaman seni dan memilih menetap di Ubud, Bali.

Dalam pameran tunggal di Galeri Surabaya, Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya pada 24-30 Juni ini, dia lebih banyak memilih melukis objek landscape dan figur manusia. Diakui Maman, hal itu karena dirinya tak pernah lepas dengan ikatan batin tanah kelahirannya, Klaten.

Meski di sana dia hanya numpang lahir karena memang lebih banyak berkelana ke berbagai kota namun dia mengaku dekat dan akrab sekali dengan alam pegunungan Merapi Merbabu yang berselimut awan, hamparan sawah yang menghijau, serta pepohonan yang melambai-lambai di tanah leluhurnya itu. Maman memang sosok pelukis yang dibesarkan oleh alam dan pengalamannya sendiri.

Pengalaman masa kecil di pedesaan serta pengalamannya berkelana di berbagai kota besar menjadi pijakan dan modal utama dalam berkreativitas. Lewat karya-karyanya, dia mengajak semua orang untuk mencintai kedamaian dan kehidupan yang beraneka rupa. n HS
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Pameran “Nobonisme”

Perupa Nobon menggelar pameran tunggal lukisan bertajuk: “Nobonisme” di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung 4-14 Juli 2009. Ada sembilan belas lukisan karya Nobon yang dipamerkan di pameran tunggal yang dikuratori Herry Dim ini.

Nobon yang lahir di Jakarta, 12 Maret 1958 ini mulai aktif di dunia seni di Sanggar Garajas, Bulungan, Jakarta Selatan mulai 1975. Sketsanya sering dimuat di Sinar Harapan, Majalah gadis dan Suara Pembaruan pada era tahun 1980-1984.

Dalam pengantar kuratornya, Herry Dim mengatakan bahwa karya-karya Nobon cenderung mandiri. Secara teoritik, kata Herry Dim, kecenderungan ini biasanya hanya muncul pada orang atau seniman yang dikategorikan sebagai penemu, genius. “Ada saatnya bagi kita untuk berani mengatakan bahwa salah seorang dari seniman kita adlah genius,” kata Herry Dim.

Budayawan radhar Panca Dahana dalam pengantar pameran Nobon mengungkapkan, Nobon tidak dikenal sebagai analis atau pemikir masalah-masalah social dan politik. Namun, keprihatinannya yang sangat dalam mengenai isu-isu di seputar dunia itu, sejak ia muda, memperlihatkan bagaimana putaran-putaran jiwanya – sebagaimana kurva garis-garis yang mengalun dan menciptakan irama di atas kanvas – membuat penglihatan batin kita terasa sesak. n AZ
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Mengkritik Kekuasaan

Tujuh perupa muda dari Kelompok Garis Merah menampilkan karya-karyanya dalam pameran bersama bertajuk “Kandidat” digelar di Sika Gallery, Ubud, Gianyar, Bali 1-14 Juli 2009. Pameran ini menjadi semacam jeda untuk merenungi perayaan Pilpres tahun ini. Siapa sebenarnya yang layak memimpin bangsa ini lebih baik.

Karya-karya mereka sarat bermuatan kritik terhadap kekuasaan. Dengan menggunakan berbagai ikon dan simbol mereka mencoba menyuarakan keprihatinan terhadap nasib bangsa. Misalnya, Sugiada membubuhkan berbagai macam grafiti dalam lukisannya untuk mengungkapkan ironi kekuasaan.

Suartama memakai media kain karung yang dibubuhi beraneka ikon dan simbol sebagai ungkapan keprihatinannya terhadap nasib bangsa di masa depan. Sementara itu, Fajar dengan gamblang merespon kalender yang dilukisi figur Capres dan Cawapres 2009. Sedangkan Sukariana memanfaatkan dan merespons benda-benda temuan seperti kertas strux, kertas rokok, sobekan brosur yang dibubuhi figure-figur distorsif.

Sementara karya Suyatna tampak manusia berwujud tikus yang mengenakan topeng badut, untuk mengritik penguasa yang lihai menipu rakyat jelata. Radnyana melalui simbol kursi dan piring dalam lukisannya, mencoba mempertanyakan apakah tangan kekuasaan mampu menyentuh salah satu kebutuhan dasar manusia. n WN
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Mengenang Seorang Kawan

Kematian akan selalu datang dan mengejutkan. Tak seorang pun tahu waktu yang pasti ajal menjemput. Bagi seorang seniman, kematian berarti aktifitas keseniannya juga berakhir.

Tapi ide pameran tetap bisa dilaksanakan. Deer Andry A Solo Exhibition of Andy Moch Realized By His Friends & Family adalah pameran bersama untuk mengenang Andry Mochammad, seniman kelahiran 1977 dan meninggal 1 Mei 2008 di Bandung. Seniman lulusan Seni Rupa Universitas Pendidikan Indonesia Bandung pernah memamerkan karya dalam bentuk video, instalasi, dan grafis di Jakarta, BanKronik dung, Yogyakarta, dan luar negeri.

Inilah cara seniman muda dari Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta mengenang kawan mereka yang tidak sempat menyelenggarakan pameran tunggal semasa hidupnya. Rekan-rekan Andry mewujudkan impiannya untuk berpameran tunggal dengan mengundang partisipan dari Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta.

Di ruang rupa Jakarta pada akhir Mei sampai awal Juni lalu 34 seniman Jakarta memamerkan karya-karya mereka untuk Andry. Kebanyakan mereka mengusung tema rusa dalam berbagai pose. Ada karya Ade Darmawan, Andang Kelana, Hafiz, Gembi Boy, Orcart De Kemano, Irwan Ahmett, dan sejumlah seniman muda lainnya menghadirkan karya mereka.

Mengenai sosok Andry, Indra Amen dari ruang rupa mengatakan, “Dia tidak pernah stagnan dalam berkarya. Selalu bereksperimen menggunakan berbagai macam medium dan pendekatan,” katanya. n ANH
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Kearifan Lokal di Jatiwangi

Jatiwangi Art Factory (JAF) dibentuk dengan main cord produksi seni rupa modern melalui bentuk-bentuk performance art. JAF sebagai arts space di sebuah desa di bagian utara Jawa Barat menggelar acara Artist in Residence, di Jatiwangi Art Factory, Jalan Makmur, Desa Jatisura – Kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, 15-25 Juni 2009.

JAF mengundang seniman atau perupa yang terkenal dan memiliki pengalaman yang unik untuk dijadikan model bagi seniman lokal di Jatiwangi. Pada bulan Juni 2009, sejumlah perupa dari Singapura mengikuti program “Artist in Residence” selama satu bulan. Mereka antara lain Ahmad Abubakar, Erzan Adam, Angie Seah, Juliana Yasin.

Suasana hidup masyarakat Desa Jatisura, Jatiwangi Art Factory tidak lepas dari tanah yang diolah menjadi genteng. Aktivitas produktif sedari pagi sudah dimulai, hingga malam hari masyarakat pengrajin, petani sekaligus pengusaha mikro itu seperti tidak terhenti oleh waktu.

Misalnya, Ahmad Abubakar (pematung) dan Erzan Adam (pelukis) membuat riset kecil untuk membuat karya seni. Lalu cerita atau storytelling yang menjadi salah satu pengetahuan anak-anak dijadikan konsep dasar pembuatan topeng di Desa Jatisura, kecamatan Jatiwangi, Kabupaten Majalengka. Workshop pembuatan topeng pun dimulai pada Minggu (15/6) pagi dengan melibatkan sejumlah anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar Jatisura.

Anak-anak pun antusias mengikuti workshop pembuatan topeng bersama Ahmad dan Erzan di Galeri JAF. Ahmad dan Erzan mengambil referensi Topeng Cirebon sebagai konsep dasar workshop topengnya. n AF
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Jumat, 09 September 2011

Eksplorasi Cat Air dan Tubuh

Berniat untuk kembali menengok dan merayakan karya lukis dengan medium berbasis cat air, galeri Phthalo menggelar pameran bertajuk, “In Search of Soul”. Pameran ini akan digelar 28 Mei-28 Juni.

Terlibat dalam pameran ini perupa Elia Aryanus, Saepul Bahri, Umi Madyanto, dan Maya Suharnoko. Tema “In Search of Soul” sendiri diambil tuturan bahwa seni merefleksikan tentang “pikiran-pikiran” jiwa sang pelukisnya. Keempat perupa yang terlibat dalam pameran ini sendiri memiliki cara berbeda untuk menafsirkan pencarian-pencarian tentang apa yang dimaknai sebagai gambran tentang jiwa.

Di pameran ini tubuh menjadi dieksplorasi sedemikian rupa dan beragam digambarkan. Kenapa tubuh? Sejarah lama bangsa Yunani, mempercayai konsep eksposisi ketelanjangan tubuh manusia memiliki makna ganda, yakni simbol jiwa yang telanjang, sekaligus ketepatan dan keprimaan detailitas sebuah objek seni.

Simak karya Saepul Bahri, Epul yang dalam karya-karyanya memang kerap mengeksplorasi tubuh, menggambarkan sosok tubuh yang patah-patah atau abstraktif. Tubuh pada lukisan Epul bukanlahlah ketelanjangan yang penuh.

Berbeda dengan Epul, Elia Aryanus dalam karyanya tampak lebih menyukai keletanjang yang penuh. Elia dalam karyanya tidak menggambarkan tubuh yang utuh, namun hadir dalam sepenggal kesan tubuh perempuan. Objek yang seolah soliter itu, dilukiskan dalam panggung terbuka dan tetap dengan ketelanjangan.

Pengunaan cat air sebagai medium dalam pengeksplorasian tubuh memang terasa memberikan kesan tersendiri. Tubuh pada karyakarya di pameran terasa tampil lebih bebas dan lentur dalam ketelanjangannya. n HP
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Personifikasi Kursi Kayu

Kursi adalah benda yang fungsinya untuk tempat duduk. Tetapi fungsi itu menjadi hilang ketika kursi ditumbuhi banyak cendawan di beberapa tempat. Orang pun jijik melihatnya, apalagi menggunakan sebagai tempat duduk.

Itulah makna sederhana yang bisa diambil ketika melihat lukisan berjudul ”Busuk” karya Alexander Ming yang dipamerkan di Gallery Taman Budaya Yogyakarta (TBY) 28 April-6 Mei lalu. Kursi buatan Ming ini terbuat dari kayu dengan sandaran tangan dan sandaran punggung lebih tebal dibanding bagian alas. Seluruh karya Ming pada pameran ”Siapa Aku” ini mengambil obyek kursi kayu. Tetapi obyek ini bervariasi, ada kursi raksasa, ada kursi mini, ada kursi kecil di tengah-tengah kursi besar, dan ada juga kursi dengan bentuk tidak wajar.

”Ming menghadirkan dan menjadikan kursi sebagai ’aku’, mempresentasikan dirinya sebagai kursi dalam kerangka mengartikulasikan pikirannya. Kursi-kursi Ming telah lama menjadi pertanda dan perlambang berbagai gambaran dan tafsir tentang berbagai citra, citraan, dan media kritik,” kata Kepala TBY, Dyan Anggraini Rais.

Jika tanpa dimaknai, karya Ming yang juga dikenal sebagai kolektor menghadirkan sapu an kuas untuk memperjelas bahwa yang dilukis adalah kayu. Warna yang dipilih pun hanya yang menyerupai warna kayu, semisal kayu jati atau bengkirai. Karena dua jenis kayu ini mampu memberi kesan kokoh pada furniture, khususnya kursi. n HP
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Adam dan Kebangkitan

Tepat tanggal 20 Mei, dalam rangka turut memperingati hari Kebangkitan Nasional Adalam Lay seorang pelukis senior asal Wonosobo menyelengarakan sebuah pameran tunggal dengan tema “Urip Iku Urup”. Pameran tersebut berlangsung di kediamannya di Jl. Mariwati Cipanas-Cianjur, Jawa Barat.

Bagi Adam Lay, pameran ini memiliki arti yang cukup penting. Selain turut memperingati hari kebangkitan Nasional, pameran “Urip Iku Urup” juga merupakan sebuah bentuk pembuktian Adam pada dunia seni rupa tanah air. Adam yang tersohor lewat lukisan kudanya kini memutuskan tidak lagi melibatkan kuda sebagai objek lukisan dalam pamerannya.

Pada pameran ini terlihat keseriusan Adam dalam mengolah objek ke dalam satu tema yang cukup kuat. Hingga di pameran kali ini, karyakarya Adam terasa lebih berbicara. Tidak sekadar memanjakan visual, karya-karya Adam kini bagai ingin mengajak para penikmatnya ke dalam sebuah perenungan.

Perenungan akan permasalahan sosial seputar lingkungan hidup, nasionalisme, hingga permasalahan politik. Meninggalkan kuda, Adam kini tampak lebih memilih objek Cakil dan elang Jawa sebagai tema lukisannya.

Pemilihan tokoh Cakil sebagai subjcet matter dalam karya Adam bukanlah tanpa alasan. Cakil dalam kisah pewayangan dikenal sebagai raksasa penjaga hutan yang mati terbunuh saat tarung melawan Arjuna. Lakon ini dikenal dengan nama Perang Kembang.

Pada lakon ini Adam menangkap adanya ketidakadilan, kenapa Cakil yang hanya melarang Arjuna masuk hutan tanpa alasan yang jelas harus dibunuh. Apakah karena stereotip yang telah melekat pada diri cakil sebagai raksasa buruk rupa, ataukah karena Cakil telanjur dijustifikasi sebagai raksasa jail yang suka membegal.

“Pantas saja bila sering terjadi banjir, lha wong penjaga hutannya dibunuh”, kata Adam.

“Urip Iku Urup”, sebuah filosofi Jawa yang berarti ‘hidup itu harus memberi arti, nyala’. Semoga pameran ini cukup memberi ‘nyala’ pada diri Adam. n DI
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Pameran Karya Lukis Anak TK

Sangkring Art Space Yogyakarta memamerkan 70 karya lukis anak usia play group hingga kelas II SD. Karyakarya tersebut sebagian besar menggunakan kanvas (66 karya) dan empat karya menggunakan kertas yang digelar pada 2-6 Mei 2009.

”Sekarang ini kami bekerja sama dengan SD Budi Utama Yogyakarta. Awalnya kami mengirimkan dua seniman ke sana untuk mendampingi murid berkarya lukis. Hasilnya seperti dipamerkan sekarang ini,” tutur pelukis Putu Sutawijaya, pemilik Sangkring Art Space.

Entah ”sihir” apa yang digunakan kedua seniman itu, Muslihar Panjul dan Robert K, hingga anak-anak kecil itu menaruh perhatian. Awalnya mulai mau diajak menorehkan kuas dan cat di atas media yang disiapkan, yaitu kanvas. Tapi tetap ada juga yang menolak kanvas dan memilih tetap menggunakan kertas seperti pada pelajaran reguler di sekolah tersebut.

Karena semangat yang tinggi para murid, pihak sekolah, serta para pendamping menyebabkan terjadi perubahan drastis pada program pendampingan tersebut. Para murid mulai menyukai dan bergembira. Terlebih, kisah Panjul, ketika siswa menemukan warna baru setelah mencampur beberapa warna.

Setelah program pendampingan berjalan sekitar dua bulan, karya lukis anak-anak kemudian dipamerkan di Sangkring. Terlihat di  sana bermacam-macam ide maupun teknik melukis yang tidak kalah dibanding karya orang dewasa. Glenn Richy misalnya, menggambar beberapa bentuk manusia bergelimpangan dalam ”Orang Jatuh dari Atap”. Warna merah dan hitam menjadi pilihan Glenn, sehingga gambar menjadi tampak lebih ”hidup”. Tampak dari gambar ini, Glenn memiliki pengalaman tentang seseorang yang menderita dan perlu pertolongan. n Heru
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Hidup Selaras dengan Alam

Sejak lama alam yang penuh dengan berbagai kemungkinan oleh seniman dihayati dengan sepenuh jiwa, diolah menjadi karya-karya seni yang luar biasa. Namun sejak lama juga alam telah dieksploitasi oleh manusia-manusia yang menganggap dirinya beradab, konon demi kemajuan dan modernisasi.

Di mata Irawan Prasetyo, pelukis kelahiran Yogyakarta, 16 Desember 1974, alam adalah pemberi yang tulus, penuh kasih sayang memelihara kehidupan. Eksploitasi terhadap alam telah membuatnya trenyuh. Kehancuran alam hanya menyisakan kegamangan menatap masa depan, tercermin dari latar belakang warna kelabu yang banyak terlihat pada lukisannya.

Pras tamatan Indonesia Communications Academy, Yogyakarta, 1998. Telah tiga kali menggelar pameran tunggal, dua kali di Kendra Gallery (2008 dan 2009) dan sekali di Galerie Idea Damen, Leuven, Belgia (2008). Dari 14 lukisan yang dipamerkan pada 2 – 30 Mei 2009 ini terlihat bagaimana ketakjuban sekaligus kegamangan Pras merenungi hakikat alam yang maha tak terduga.

Kurator pameran, Hardiman, mengelompokkan lukisan Pras ke dalam tiga sub tema, yakni: Mengkritisi Eksploitasi, Mencatat Proses- Menjadi, dan Menghidupkan Sang Waktu. Dalam pengamatan Hardiman, persoalan alam yang digarap Pras lebih ke arah sebagai sang pemberi yang karena proses konstruksi budaya, alam bisa dieksploitasi atas kepentingan manusia. Alam juga dilihat sebagai media pencatatan proses-menjadi, dan alam juga bisa menggugah Pras dalam cara menghidupkan waktu. n WS
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Mimpi Masa Kecil

Impian dan pengalaman di masa kecil menjadi dorongan dahsyat ketika seseorang memasuki alam dewasa. Cita-cita tersebut akan memacu seseorang untuk merealisasikannya. Berangkat dari itu pula, lima perupa yang tergabung dalam Scala memujudkan impian dalam karya seni rupa yang dipamerkan di Syang Art Space, Magelang, 19 April-4 Mei 2009.

Mereka adalah Hamzah, Imbalo Sakti, Ramadhani Kurniawan, Meistoria Ve, dan Yasrul Sami. Dengan tajuk ”Dream” pada pameran ini dimaksudkan untuk membongkar impian masa kecil para seniman dalam bentuk lukisan. ”... apa yang mereka perjuangkan selama ini secara langsung maupun tidak, tak pernah beranjak jauh dari mimpi masa kanak-kanak mereka. Mimpi masa kecil tidak pernah hilang, ia datang dan pergi,” kata Dwi Marianto.

Karya Hamzah misalnya, tidak melenceng jauh dari pengalaman masa kecilnya. Ia adalah putra Ms Dt Pdk Alam, mantan Wali Nagari yang punya kebiasaan dan hobi berburu serta melukis sejak masa kanak-kanak di zaman penjajahan Belanda. Pengalaman melihat gambar dengan subyek berburu, kata Dwi, membentuk rasa estetis awal Hamzah dalam melukis. Rasa itu kemudian dibongkar dan direkonstruksi sewaktu Hamzah belajar seni lukis di ISI Yogyakarta.

Lahirlah kemudian karya-karya seperti ”Fiestaphoria”, ”Sketsa”, ”Joas!!!”, ”Figure”, ”Fenomenal”, dan ”Relativitas”. Pada ”Fiestaphoria”, Hamzah, memvisualkan nasib ikan di tangan manusia, ada yang menjadi pepes dan ada juga tetap dalam bentuk utuh tetapi ditusuktusuk dengan sebilah bambu. Tetapi meski menjadi ”korban” manusia, ikan-ikan tadi tetap menjadi buruan utama kucing. n HP
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Blueprint Kota Gudeg

Pohon beringin yang menjadi ciri khas Kraton Yogyakarta berjalanjalan keliling kota. Bahkan, pohon tersebut diusung di atas kepala lima orang bersepeda motor (layaknya helm) mengelilingi ruas jalan utama. Tentu saja pemandangan ini sangat menggemparkan warga kota gudeg Yogyakarta.

Adalah Arya Panjalu dan Sara Nuytemans yang menggagas ide karya ”Treebute to Jogja” tersebut. Karya lapangan itu kemudian didokumentasikan dalam video dan menjadi salah satu peserta pameran ”Blueprint” dan dipamerkan pada 21 April-9 Mei lalu.

Menyaksikan video berdurasi sekitar tujuh menit ini, orang dengan mudah akan menyimpulkan bahwa karya tersebut mengusung isu lingkungan hidup. ”Karya itu memang menunjuk pada banyaknya polusi di Yogya, juga mulai banyaknya motor bike di kota ini. Isu lingkungan memang menjadi titik sentral pameran,” kata Simon Soon, kurator yang berasal dari Kuala Lumpur, Malaysia.

Kampanye yang dihadirkan Arya dan Sara memang menunjukkan hal kontradiktif. Di satu sisi ”memprovokasi” masyarakat untuk kembali kepada alam yang ditunjukkan dengan pohon beringin, tetapi di sisi lain alat angkut sepeda motor bisa juga ”memprovokasi” masyarakat beramai-ramai memiliki kendaraan bermotor tersebut. Pameran ”Blueprint”, menurut Simon, sebenarnya sekadar mengangkat persoalan lokal Yogyakarta dari sudut pandang seniman. Karena itulah, isu yang diangkat oleh peserta pameran tidak hanya sebatas persoalan lingkungan. n HP
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Menengok Lelang Lukisan Sidharta

Krisisi ekonomi global yang dimulai September tahun lalu tidak menghentikan laju pasar seni rupa, termasuk di Indonesia. Para kolektor dan pialang lukisan tetap memburu karya-karya yang dianggap berkualitas dan berprospek cerah. Ahad (10/05) lalu Sidharta Auctioneer menggelar lelang lukisan bertajuk Indonesian Diversitity in Fine Art di Pakubuwono, Jakarta Selatan.

Amir Sidharta mengatakan periode booming pasar seni rupa Indonesia terjadi pada 2007 sampai 2008. Banyak lahir investor-kolektor baru yang membuat pasar meriah dan harga cenderung naik. “Setelah krisis finansial yang dimulai September lalu, harga lukisan rata-rata turun 30 persen, “ kata Amir, dalam katalog lelang.

Kali ini Sidharta Auctioneer melelang hampir 200 karya yang diproduksi mulai era 1960-an sampai 2009. Karya dari berbagai mazhab, termasuk seni lukis kaligrafi karya AD Pirous dilelang. Karya Affandi berjudul Self Potret (1966) adalah karya “berkelas atas” yang ikut dilelang. Karya ini diperoleh dari koleksi seorang diplomat Indonesia yang berteman baik dengan Affandi saat tinggal di Italia pada 1970-an.

Karya Djoko Pekik berjudul Menjelang Pentas (1998) yang menggambarkan dua perempuan mirip wayang sedang berkaca untuk mendandani wajahnya sebelum pentas di panggung. Cat hitam yang mendominasi kanvas karya ini dan teplok yang menyala di salah satu dudut memperlihatkan malam yang larut: malam yang menjadi sahabat kaum seniman pertunjukan tradisional untuk berkesenian. Karya yang mengangkat seni tradisional lainnya tampak pada karya Srihadi Soedarsono, Balinese Dancer (1994), Tari Serimpi (1991) karya Wardoyo dan karya Bagong Kussudiardja bertajuk Javanese Dancer. Krisis boleh terjadi, tapi lelang lukisan tetap harus jalan. n ANH
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Karya-Karya dari Tiga Kota

Jumlah seniman rupa Indonesia berlimpah ruah. Yogyakarta, Bali, dan Bandung adalah produsen sekaligus laboratorium yang melahirkan seniman. Lihatlah, karya puluhan seniman dari tiga kota itu dipamerkan di Edwin’s Gallery Jakarta, 30 April-17 Mei. Mereka memamerkan karya dalam bentuk lukisan, patung, dan instalasi.

Kali ini pameran bertajuk Survey#2 adalah hasil kurasi Agung Hujatnikajennong dengan perekomendasi Aminuddin “Ucok” TH Siregar (Bandung), Farah Wardani (Yogyakarta), dan Hardiman (Bali). Seniman yang direkomendasikan ketiganya antara lain Agus “Baqul” Purnomo, Albert Yonathan Setyawan, Amrizal Sulaiman, Gede Arta, I Wayan Sedanayasa, I Nyoman Tarka, Iwan Effendi, Rudi Hermawan, Octaria, Tina Nuraziza, dan sejumlah seniman lainnya.

Pameran ini, kata Agung Hujatnikajennong, bertujuan untuk melakukan sebuah tinjuan (survei) terhadap praktik seni rupa yang sedang berlangsung. Agung mengatakan bahwa, “sepanjang dua sampai tiga tahun terakhir praktik seni rupa mengalamai gejala produktif: jumlah seniman di Indonesia meningkat, produksi karya berlipat-lipat, dan frekuensi pameran melonjak naik.”

Oleh karena itu, tidak heran jika ruang pameran dua lantai milik Edwin’s Gallery dindingnya penuh dengan pigura lukisan. Lukisan wajah karya Amrizal Sulaiman, lulusan Fakultas Teknik Mesin Universitas Pasundan Bandung, bertajuk See Saw memotret wajah orang-orang yang sudah terkenal dalam jagad politik dunia dan sastra dunia. Mereka antara lain Mao Tse Tung, Mick Jagger, Che Guevara, Aung San Suu Kyi, dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka adalah tokoh-tokoh perlawanan yang kemudian men-jadi ikon dari semangat pantang menyerah terhadap rezim yang menindas.

Patung Taufiq Panji Wisesa, lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, berjudul The Birdman dari fiberglass menyuguhkan tubuh laki-laki telanjang yang bersayap seperti burung. Ia berdiri di atas drum seolah hendak terbang. Taufiq berhasil membuat patung dengan lekuk dan guratan tubuh yang mendekati kenyataan.

I Nyoman Tarka, lulusan Institut Seni Indonesia Denpasar Bali, melukis tiga perempuan muda yang mengenakan baju tradisional Bali. Ketiganya berada di antara gelembung air dan kabut. Lukisan bertajuk Di Depan Misteri menyuguhkan misteri betulan. Sebab, wajah mereka tidak tampak dan aktifitas mereka yang menghadap dinding tidak memberika gambara apa sesungguhnya yang hendak mereka ekspresikan. Gede Arta, lulusan STSI Denpasar, membuat lukisan Lamunan Siang #1. Gambarnya lakilaki tua yang telanjang dada sedang duduk di atas batu. Topinya ditaruh dilutut dan kawah hitam di belakangnya menghampar. Laki-laki ini dari raut mukanya tampak sedang beristirahat dari beban kerja yang menguras energinya.

Yudha Sandy, lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta memamerkan lukisan Melankolik Medioker Berlari Sejauh Dia Mampu. Lukisannya jenaka. Seorang pemain gitar mengalungkan dua gitar sekaligus dilehernya. Jauh di belakangnya seseorang juga memainkan gitar. Satu kanvas ini penuh warna. Ada binatang sirkus dan pelatihnya, pengguting kain, dan warnawarna yang semarak. Seniman dari Yogyakarta lainnya, Teguh Hariyanta, memamerkan karyanya bertajuk Neighbor’s Grass so Green. Dua ekor kupu-kupu sedang mencari daun hijau yang bertebaran di atas kanvas.

Pameran puluhan seniman ini menunjukkan bahwa regenerasi seniman Indonesia tampaknya akan cerah. Cerak dari dari segi corak karya maupun apresiasi dari kalangan komunitas seni. n HS
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Pameran Seni Rupa “In Rainbow”

Pameran seni rupa bertajuk: “In Rainbow” digelar pada 16 – 24 Mei 2009 di Esa Sampoerna Art House, Jalan Raya Kertajaya Indah 89, Blok O-205, Surabaya, Jawa Timur. Pameran yang menghadirkan karya-karya terbaik 57 perupa Indonesia ini diprakarsai oleh Sunarjo Sampoerna.

Judul “In Rainbow” digulirkan untuk memberikan inspirasi merangkai berbagai kerja kreatif di dunia seni rupa Indonesia.

Seperti, para senimannya, para penikmatnya, dan para mediatornya. Pameran ini bahkan mengisyaratkan munculnya beragam kerja kreatif, sinergi yang mendasarinya dan munculnya inspirasi berbagai potensi menghadapi krisis global.

Dalam tulisannya untuk pameran ini, Jim Supangkat dengan tajam mengulas kondisi pasar seni rupa Indonesia yang dikaitkan dengan pasar global dunia. Jim berpandangan bahwa praktik pengkoleksian karya seni tetap memperhitungkan aspek intrinsic karya seni dan bukan semata-mata adanya isu di luar karya seni itu sendiri. n RSP
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Eksplorasi Artistik

Tak kurang dari dua ratus enam puluh perupa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan perupa otodidak serta perupa profesional seperti Tisna Sanjaya, Rudi ST Darma, Isa Perkasa, Benzik menyajikan eksplorasi artistiknya yang berukuran 10 x 10 cm dengan bingkai yang beragam ukuran ruang Galeri Hijrah (tentative name space) di Rumah Proses, Bandung, 17 - 20 April 2009.

Berbagai macam teknik dan metode artistik dari setiap perupa menyajikan konsep pemahamannya terhadap ruang untuk ditaklukkan secara cerdas melalui garapan artistiknya. Media kertas menjadi wadah yang disepakati bersama oleh para perupa untuk menyajikan konsep karya artistiknya dengan gagasan masing-masing.

Medium kertas seringkali dianggap bukan medium yang mampu menyuguhkan presentasi karya yang maksimal, final atau marketable seperti kanvas yang banyak diburu para kolektor dua tahun terakhir ini. Dan pameran itu memang tidak bertujuan untuk market.

Ekspresi dari pencapaian artistik dari perupa menjadi media belajar bersama untuk memahami proses kreatif dan metode presentasi karya. Rudi ST Darma memaknai pameran itu sebagai bentuk interaksi sosial perupa dengan lingkungannya masing-masing yang dibahasakan secara artistik ke dalam karya masing-masing perupa.

Iman Sutoyo, ketua penyelenggara pameran mengatakan bahwa pameran ini mengusung tema artistic fashion. Tajuk pameran itu sendiri memang dimaksudkan bagaimana perupa menampilkan karyanya dengan gaya masing-masing. n AF
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Menikmati Seni Hijau ala Jepang

Ingin tahu seni merangkai bunga ala tradisi Jepang? Ingin memandang seni hijau yang dekat dengan lingkungan? Datanglah segera ke Pusat Kebudayaan Jepang, Sudirman, Jakarta. Puluhan anggota Ikebana Internasional dari Indonesia memamerkan karya-karya mereka. Ikebana — seni merangkai bunga tradisional Jepang telah menghipnotis ribuan orang dari berbagai benua. Ada rangkaian bunga yang aneka gaya: tegak, condong, menjulang ke atas, dan lainnya.

Ikebana untuk dekorasi, ikebana alam, ikebana tiga dimensi, dan ikebana kontemporer tampak di ruang pameran. Bahan dan alat yang dipakai antara lain: bunga-bunga, tanaman, floral tape, bambu, kawat, bebatuan, dan tali.

Jika seni merangkai bunga dari Barat bersifat dekoratif, Ikebana tampil dengan menciptakan harmoni dalam bentuk warna, linier, dan ritme. Meski tampak indah, Ikebana tidak mementingkan aspek keindangan bunga, tapi pada pengaturannya menurut garis liner. Secara filosofis, bentuk-bentik dalam Ikebana didasarkan pada tiga matra yang mewakili bumi, langit, dan manusia.

Pameran Ikebana International bertajuk Inspiring Green Through Ikebana International, 23-24 April, diselenggarakan Ikebana International Jakarta Chapter 224. Pameran ini mengusung berbagai aliran dan style Ikebana yang sudah hidup di Jepang sejak abad ke-7. Ikebana International adalah organisasi kesenian non-profit berskala global yang berpusat di Tokyo, Jepang. Pendiri organisasi ini, Ellen Gordon Allen, berhasil menarik banyak orang untuk mempelajari kebudayaan Jepang yang berabad-abad.

Kini anggotanya lebih dari 10 ribu orang yang tersebar dilebih dari 50 negara. Seni merangkai bunga ini telah menyebar ke Amerika, Eropa, Kanada, Rusia, Australia, Asia, Afrika, dan Timur Tengah.

Ikebana memiliki berbagai macam aliran yang punya cara tersendiri dalam merangkai berbagai jenis bunga. Karya Lian Purwana yang beraliran sugetsu memanfaatkan bambu untuk merangkai bunga hijau yang tumbuh menjalar. Aliran yang hidup sejak 1927 ini berprinsip mengikuti hidup kontemporer. Karena itu, dalam rangkaian ini Lian menghadirkan aneka warna yang mencirikan dan melestarikan kebebasan berekspresi. Karya Lily Novilia yang bermazhab mihso-ryu juga menggunakan bambu berdiri sebagai tiang untuk jalinan bunga.

Ibu W Tony Surono menghadirkan Ikebana jenis ohara. Rangkaianya bunganya memiliki ciri tersendiri: rangkaian yang memakai container rendah dan permukaan air yang lebar dan rangkaian yang memakai vas tinggi dengan permukaan air yang sempit. Hasilnya adalah Ikebana yang mengekspresikan tiga dimensi ruang. Meski vasnya tinggi, dia menghasilkan rangkaian yang dinamis dan harmonis.

Gaya yang lebih modern tampak dalam Ikebana Ichiyo yang diusung Ibu AS Aulina M. Ia merangkai bunga dengan standar yang dilihat dari letak tangkai utamanya: gaya tegak, gaya condong, gaya pendek, gaya bergantung, dan gaya empat arah. Aliran tertua, Ikebana ikenobo tampak dalam karya Tati Tusin. Rangkaian bunganya berdiri dengan jarak tertentu dari tanah ke pangkal bunga. Inilah kreasi dari Jepang yang menyebar ke berbagai benua di dunia, yang pada awalnya berasal dari tradisi persembahan bunga di kuil Budha di Jepang. n ANH
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

“Kick” untuk Kawan

Menampilkan teknik drawing dengan menggunakan media arang dan pensil, Tomy Aditawa Putra hadir lewat penggambaran figur-figur yang terluka pada pameran “Kick” di galeri Langgeng 29 April-29 Mei. Drawing arang dan pensil sebagai medium alternatif bagi seni dua dimensional memang mulai banyak dilakukan perupa muda, dan mulai diterima oleh pemirsa. Kepopuleran drawing arang di atas kertas dan kanvas bermula ketika secara mengejutkan perupa Pramuhendra menggunakannya sebagai idiom utama.

Walaupun sebelumnya perupa pendahulunya seperti Agus Suwage, Tisna Sanjaya, dan beberapa lainnya pernah juga menampilkan arang. Tetapi untuk pendekatan artistik foto-realisme justru generasi seperti Pramuhendra cukup berani untuk menampilkan drawing arang sebagai medium uatamanya. Seperti halnya juga Tomy.

Tomy lewat Kick seolah melanjut sejarah panjang melukis potret; mulai dari Raden Saleh, Van Gogh hingga Chuck Close dan Agus Suwage di mana perupa tak henti memaknai diri orangorang yang dikenal secara langsung maupun tidak. Menyumbangkan nilai sejarah bagi peradaban masing-masing zamannya.

Menampilkan gambaran perupa-perupa muda kenalannya yang di ‘kick’, bagi Tomy adalah sebuah bentuk penghargaan tersendiri untuk mereka darinya. Menyukai secara pribadi; baik dari segi karya, attitude, sepak terjang, pretasinya adalah alasan subjektif pribadi ketika Tomy melakukannya.

Figur-figur yang di-kick memang tampil dengan penggambaran orang-orang yang tersudut, babak belur. Namun figur-figur terluka itu tidak tergambar dalam kondisi lemah tak berdaya, tapi justu tergambar balik menantang untuk melawan. Inilah nampaknya yang dimaksud pengghargaan Tomy bagi kawan perupa mudanya. Bagi tomy meraka adalah figur-figur yang kuat dan pantang menyerah walau kadang “luka” kerap datang menyergah. n ANH
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Wajah Demokrasi Indonesia

Pameran senirupa “Gank Demokrasi” di Galeri Surabaya, Kompleks Balai Pemuda, Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya, 30 Maret-5 April 2009, turut mewarnai hiruk pikuk pekan terakhir masa kampanye parpol peserta pemilu. Pameran yang digagas oleh sejumlah seniman gabungan dari Kota Surabaya dan Malang ini diikuti oleh perupa Bambang AW, Sugeng “Klemins” Pribadi, David Sugiarto, Didik Mojo, Erik Wileam, fotografer Peter Wang dan kelompok seniman video art ‘Docnet’. Sebagian besar karya mereka memotret peristiwa demokrasi di Indonesia, khususnya yang terjadi pasca reformasi 1998.

Erik Wiliem misalnya, lewat dua karyanya, “Cinta Itu Tak ada” dan “Living on the Jet Plane”, mencoba mengungkap tentang upaya penegakan hukum dan HAM di negeri ini yang penuh liku yang menjadi bagian dari ranah demokrasi di Indonesia. Dua karya tersebut yang semuanya dibikin menggunakan media oil on canvas dan digital print berukuran besar itu di-display jadi satu secara berdampingan lalu diberi pita garis polisi menyilang bertuliskan: “Don’t Cross”.

Tema kampanye parpol tampaknya menjadi inspirasi terbesar bagi sebagian perupa lainnya dalam pameran bertajuk “Gank Demokrasi” ini.

Maklumlah, barangkali masa kampanye parpol untuk Pemilu tahun ini masanya tergolong panjang. Belum lagi fenomena Pilkada yang cukup semarak setiap tahunnya digelar silih berganti di berbagai daerah. n HN
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Dua Sistem yang berbeda saling berhubungan

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Sangkin mulianya manusia hidup dan tinggal di tempat yang serba lengkap, dan tempat itu kita kenal dengan sebutan planet bumi. Seperti kita ketahui bahwa planet bumi terdiri dari dua sistem yang berbeda, akan tetapi saling berhubungan antara sistem yang satu dengan sistem yang lainnya saling ketergantungan.

Jika kota berdiri dengan gagahnya, yaitu dengan bangunan gedung-gedung yang bertingkat, dengan aspal dan beton-beton yang kokoh, maka secara tidak langsung alam akan murka. Karena tidak ada tempat bagi air untuk menyatu dengan tanah. Tidak ada ruang bagi tumbuhan dan pepohonan yang lainnya untuk hidup.

Alam akan murka dengan gempa buminya atau dengan banjir banding atau tanah longsornya, sebab tanpa alam kehidupan akan menjadi suatu hal yang mustahil alias tidak adakehidupan tanpa alam. Karena alam memberikan segala yang dibutuhkan manusia untuk hidup dan berkembang biak. Dengan demikian kota tanpa alam merupakan suatu kemustahilan.

Jika kita melihat realita hari ini justru suatu hal yang sebaliknya. Sepertui yang dilukiskan oleh beberapa orang seniman, yaitu Ahmed Zafli, Yurnalis, Ricky Wahyudi, Netok Sawiji, Wadino, dan Imbalo Sakti. Mereka menggelar pamerannyanya pada tanggal 25 Maret-7 April di sebuah gallery yaitu, gallery Elcanna yang terdapat di ibu kota, dengan tema “Shape & Vision” (bentuk dan visi atau penglihatan ke masa depan).

Karya-karya tersebut menggambarkan dua sisi yang berbeda yang terdapat di dalam planet bumi, tempat tinggal manusia. Dua sisi yang berbeda akan tetapi saling berhubungan dan saling berpengaruh. Apabila bumi penuh dengan bangunan-banguana kokoh tanpa memebveri ruang bagi air dan tanaman maka, secara tidak langsung alam akan murka dengan tidak memeberikan kehidupan bagi umat manusia.

Beberapa karya ini juga menggambarkan atau memaparkan tentang kondisi alam masa depan, jika tidak ada pemeilharaan terhadap alam. Di mana manusia tidak memiliki tempat tinggal yang memberikan dia kehidupan yang lebih alami lagi. Sebut saja tempat tinggal yang penuh dengan tumbuh-tumbuhan dan udara yang segar. Beberpa karya ini juga memeberikan teguran bagi kita manusia agar lebih menjaga dan memeilihara alam lagi. Agar alam tetap bersih dan bersahabat. Semoga. n HN
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Novelis AS, Valerie Miner, Kunjungi Surabaya

Surabaya menjadi salah satu kota tujuan yang dihampiri novelis Amerika Serikat (AS), Valerie Miner, selama lawatannya di Indonesia, awal April lalu selain Malang, Yogyakarta dan Jakarta. Di kota pahlawan ini, Kamis (2/4), di tengah kesibukannya usai memberi kuliah umum di tiga kampus, masing-masing Fakultas Sastra Unesa, UK Petra dan Fakultas Ilmu Budaya Unair, pada sore harinya, dia menyempatkan bersilaturahmi dengan penulis lokal.

Sedikitnya 70 penulis Jawa Timur, khususnya yang berdomisili di Kota Surabaya, hadir dalam kesempatan yang penyelenggaraannya dijembatani oleh Dewan Kesenian Surabaya bekerja sama dengan Konjen AS di Surabaya di Gedung Utama Balai Pemuda, Jl. Gubernur Suryo 15, itu. Tampak di antaranya adalah penulis Dukut Imam Widodo, Dramawan Akhudiat, novelis Suparto Broto, Soya Herawati, Lan Fang, serta pemenang pertama sayembara novel DKJ 2007, Mashuri.

Valerie Miner, yang saat ini juga tercatat sebagai Profesor di Stanford University, selama 25 tahun terakhir memang sedang giat berkeliling dunia untuk berceramah, mengajar, dan memberi workshop khususnya yang berkaitan dengan creative writing. Beberapa karya novelnya telah membuahkan berbagai penghargaan internasional, seperti dari The Rockefeller Foundation, The McKnight Foundation, The NEA, The Jerome Foundation dan The Heinz Foundation.

Dihadapan penulis Kota Surabaya, wanita kelahiran New York, 28 Agustus 1947, ini berbagi cerita. Dia mengaku, selain aktif menulis dan mengajar, belakangan juga menyibukkan diri dalam berbagai kegiatan art-in-residence: berkolaborasi menulis buku dan menggelar pameran di berbagai museum. n HN
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Masjid-Masjid di Negara Sekuler

Kaligrafi menghiasi eternit dan dinding atas di masjid-masjid Jerman. Desain ruangan dan kaligrafi itu dikerjakan dengan profesional. Ayat-ayat dari Al-Qur’an dan warna-warna cerah menjadikan perpaduan desain dan kaligrafi yang enak dipandang mata. Pameran foto bertajuk Mosques in Germany ini memperlihatkan bangunan masjid yang minoritas di tengah masyarakat Kristen Jerman.

Ya, puluhan foto masjid, pusat kajian kebudayaan Islam, dan lingkungannya karya Wilfried Dechau, fotografer Jerman, yang terse-bar di berbagai kota Jerman dipamerkan Goethe Institute Indonesia, 1-14 April lalu. Di Aula Nurcholish Madjid Universitas Paramadina Jakarta, masjid-masjid dengan desain indah, muslim yang sedang salat, perempuan berjilbab, dan pemandangan di sekitarnya menghadirkan sisi lain negeri Jerman.

Wilfried Dechau yang pernah menjadi pemimpin redaksi majalah arsitektur di Jerman memusatkan lensanya pada foto-foto arsitektur, bangunan, dan potret. Ia mengambil sudut-sudut yang memudahkan kita mengidentifikasi obyek yang ia bidik.

Lihatlah sebuah foto di dekat perempatan jalan Mannheim. Foto bertajuk Yavuz Sultan Selim Masque Opposite The Catholic Churc of our Lady. Keduanya hanya dipisahkan jalan raya. Keduanya mengangkat simbol kubah dan salib yang tinggi sama. Wilfried hendak menunjukkan bahwa masjid di negeri yang banyak gerejanya bukanlah persoalan. Keduanya hidup berdampingan dan saling menghargai. Sebab, diakui atau tidak pemeluk Islam di negara-negara Eropa populasinya terus meningkat.

Foto di Penzburg bertajuk In The Womens Gallery memperlihatkan beberapa perempuan berjilbab sedang duduk di salah satu ruang masjid yang khusus untuk perempuan. Dengan bagus, Wilfried menunjukkan bahwa jilbab menjadi identitas global yang dipakai oleh perempuan muslim di berbagai negara. Lewat jilbab ia berbicara tentang kebudayaan pakaian dan tata busana ala Islam.

Di Bandung, Goethe Institute Indonesia juga menggelar pameran bertajuk Berbagai Aspek Fotografi Jerman Masa Kini di Galeri Soemardja ITB, 7-25 April. Tiga fotografer Jerman, Susanne Brugger, Thomas Demand, dan Heidi Specker, memamerkan belasan karya mereka. Thomas Demand memotret obyek-obyek desain interion ruangan, Susanne menjepret tata bangunan di kota-kota besar Jerman dalam format hitam putih. n ANH
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Bercermin Pada Zaman

Perupa berbakat, Amrizal Sulaiman menggelar pameran bertajuk: See Saw pada 30 April di Raos Galerry, Kota Batu, Jawa Timur. Dalam See Saw ini, Amrizal menampilkan puluhan tokoh legendaries dunia yang sudah tiada. Sebagian dari mereka meninggal secara tragis, misalnya ada yang ditembak dalam sebuah insiden politik atau mati muda karena biusan narkotika.

“Sebagian besar dari mereka mati muda. Semoga hal ini menjadi introspeksi dan cukup mereka saja yang mengalami hal itu,” kata Amrizal di sela-sela pameran.

Dalam pengantarnya pada pameran ini, Anas Hidayat dari dpavilion think tank, Surabaya mengatakan bahwa Amrizal melalui See Saw ingin menggebrak paradigma bagaimana melihat tokoh dan sejarah yang senantiasa bergerak dari Saw di masa lalu menuju See di masa kini.

Melihat adalah sebuah pintu menuju percaya, seperti terungkap dalam kata-kata “seeing is believing”. Artinya, orang baru percaya jika sudah melihat dengan mata kepala sendiri.

Pameran ini sendiri menurut Amrizal dipersiapkan selama enam bulan. Wajah-wajah tokoh yang ditampilkan antara lain, Ayatullah Khomeini, Albert Einstein John F Kenedy, Mahatma Gandhi, Marlyn Monroe, Jimmy Hendrick dan tokoh lainnya.

“Foto yang bersejarah, meskipun sangat real dan detail, kadang masih menyimpan banyak fakta yang simpang siur karena perbedaan interpretasi,” kata Anas Hidayat. n RSP
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Berkeliling dengan Dekoratif

Sejumlah karya dalam pameran ini menunjukkan keberagaman kosarupa dari beberapa negara, yakni Indonesia, China, Korea, Malaysia dan Thailand. Masing-masing perupa berupaya menampilkan identitas budaya dalam karya seni lukis modern yang digubahnya.

Lukisan Wang Hua Xiang, misalnya, menampilkan figur-figur dengan latar warna hitam pekat. Di atas figur, selayaknya bandrol, terpampang tulisan dengan huruf-huruf China dengan latar warna merah menyala. Sedang-kan karya pelukis China yang lain lebih banyak mengetengahkan corak abstrak dan dekoratif dengan keistimewaan masing-masing.

Dari Indonesia, Antonius Kho menampilkan subjek matter anjing yang dibalut dalam nuansa dekoratif. Sesekali muncul figur perempuan dalam lukisan tersebut dalam konteks relasi dengan anjing sebagai hewan kesayangan.

Anas Etan menampilkan figur-figur gemuk namun tetap dengan variasi dekoratif sebagai pemanis lukisan. Achmad Soepandi menyuguhkan lukisan-lukisan abstrak dengan motif-motif tribal sebagai salah satu upaya memunculkan identitas keindonesiaan.

Najib A. Dawa dari Malaysia juga menampilkan lukisan corak dekoratif. Sulur-sulur pohon dan bunga-bunga dengan latar warna merah, boleh jadi kesukaannya. Dia juga melukis obyek segitiga yang melayang-layang dalam ruang.

Tidak jauh berbeda dengan Malaysia, pelukis Thailand dan Korea masih tampak asyik dengan corak dekoratif yang didominasi bunga teratai dan bulan sabit. Pengaruh ajaran Budha sangat terasa dalam karya-karya mereka.

Corak dekoratif terasa sangat dominan dalam pameran keliling ini. Pameran pertama telah digelar di Mauritius, Reunion, lalu di Penang-Malaysia. Setelah usai pameran di Bali, akan dilanjutkan dengan pameran di China. n WS
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Citra-citra Tak Terduga

Dalam berkarya ia tidak terlalu memikirkan alat dan bahan. Meski menggunakan pensil, ia mampu membuat karyakarya yang penuh dengan citra mengejutkan.

Citra-citra drawing yang terbentuk dari goresan dan arsiran pensilnya beberapa mirip jasad renik, seperti kuman, bakteri, parasit, amuba. Sebagian penuh dengan simbol-simbol bernuansa mistis spiritual yang digarapnya sedemikian rupa. Misalnya, cahaya lilin di kegelapan malam, seberkas cahaya yang jatuh di atas altar, bentuk-bentuk lingkaran, segitiga, esensi dari citra benda-benda.

Tidak sulit baginya mencari ide. Benda-benda di sekitar atau apa saja yang melintasi pikiran dan imajinasinya bisa dijadikan karya. “Yang penting saat berkarya perlu kejujuran dan kesungguhan hati,” ujarnya.

Sebelum melangkah ke drawing, dia pernah suntuk menggarap lukisan bercorak abstrak, ekspresionisme, impresionisme, semi realis, figuratif dengan medium cat air, cat minyak dan akrilik. Meski lukisan-lukisan jenis itu cukup diminati, namun semua itu baginya hanya proses dan tidak terlalu memuaskan batinnya.

“Saya merasa lebih cocok menekuni drawing. Semua teknik melukis yang pernah saya tekuni dulu muncul kembali dalam drawing. Bahkan melalui pensil saya bisa menggali alam bawah sadar. Seringkali pensil bergerak sendiri di luar kontrol kesadaran membentuk citra-citra yang tak terduga,” tuturnya.

Hal itu bisa dinikmati pada 13 judul karya yang dipamerkannya. Misalnya karya “In The Circle” (12 panel) penuh dengan citra-citra renik tak terduga yang mengambang dalam lingkaranlingkaran mandala. Sepintas mirip wujud-wujud renik di bawah mikroskop. Pada karya “Penetrating Space”, dia membuat citra berkas-berkas cahaya yang membeku dan meleleh di atas meja. Permainan gelap terang dan keharmonisan komposisi sangat terasa dalam drawing ini.

Sedangkan karya “Scattered Image II” (4 panel) menunjukkan kemampuannya memainkan gerak bawah sadar sehingga menghasilkan citracitra yang sangat kuat nuansa mistisnya. Secara umum, karya-karyanya memang tak berpretensi apa-apa selain mendedahkan kejujuran dan kepuasan batinnya sebagai pelukis.

Dia lahir di Negara, Bali, 14 April 1972. Tamatan ISI Yogya. Ini merupakan pameran tunggalnya yang kelima sejak 2002. Sejumlah penghargaan telah diraihnya, di antaranya Finalist International Trienale “Print and Drawing” di Bangkok, Thailand, pada tahun 2008. n WS
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Pameran Warna-warni Empat

Empat perempuan melukis bersama. Dan lahirlah kelompok Indonesia Warna, yang lantas dijadikan judul pameran bersama mereka di sebuah lobi hotel bintang lima bertaraf internasional di Jakarta. Pembuka pameran mereka adalah salah satu kolektor dan pengagum mereka yaitu Ir Trisiwindono, Presiden Direktur PT Pertamina EP. Ini bisa jadi mungkin semacam strategi untuk memperkuat citra Indonesia Warna di mata publik.

Kiki, yang bertindak sebagai juru bicara kelompok ini, dengan rendah hati mengatakan bahwa mereka adalah pemula. Keempat perempuan yang bersahabat sejak lama ini berkumpul dan mengikuti sesi melukis cat air di bawah bimbingan perupa Agus Budiyanto. Selama enam tahun mereka tekun mengasah kemampuan dan mendalami teknik melukis. Dan tibalah saatnya mereka unjuk diri ke publik.

Para perempuan ini seakan ingin mengajak publik untuk back to nature, kembali ke alam dan lingkungan semula jadi. Dan hampir semua lukisan mereka memang berbicara tentang keindahan alam dan lingkungan. Pohonpohon, bunga, serangga, kolam ikan, atau sekedar bentang alam yang mempesona.

Keempatnya seakan ingin kembali memperlihatkan bahwa bagaimanapun alam menjadi sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Lukisan keempat perempuan ini penuh interpretasi. Goresannya kuat, misalnya saja pada karya Kiki yang berjudul Forest in Dry Season. Warna biru yang dominan, menjadi latar belakang pepohonan yang tegak lurus menjulang ke angkasa. Namun semburat warna kuning dan merah di bagian bawah seakan ingin mengajak penikmat lukisan bertanyatanya mengenai sesuatu yang mengancam. Seakan hendak menggambarkan ancaman kebakaran hutan!

Tapi mereka juga berani bereksperimen. Misalnya lukisan Kiki saat menggambarkan seekor ayam jantan pada lukisan berjudul ”Proud”.

Atau lukisan Tutty yang berjudul “Terumbu Karang”. Hendak bermain-main dengan sentuhan abstrak kah ? Unik juga. Karena hampir semua lukisan sangat kuat dalam aspek realisme atau setidaknya surealisme, tapi sentuhan abstrak, ya boleh jugalah.

Nina Utami sendiri banyak melukis alam yang dipadukan dengan sentuhan religiusitas, yaitu pemandangan alam dengan masjid sebagai latar belakanganya. Ada tiga lukisannya bicara tema tersebut yakni ”Di batas hari”, ”Journey” dan ”Radiance”.

Selain tentu saja lukisan bunga yang penuh warna-warni yang indah. Sedangkan Maya Basoeki tampaknya gemar bermain dengan aspek pencahayaan seperti pada lukisannya yang berjudul ”By The Lake”.

n IS
BACA SELENGKAPNYA, KLIK INI

Sponsor